Minggu, 08 Mei 2011

Isu Gerakan Separatis di Indonesia

 Bendera Papua Barat dan Bendera Inggris                       Bendera RMS

Di balik kontroversi tertundanya kunjungan PAK BEYE ke negeri Belanda pada 5 Oktober 2010, ada hal penting lainnya yang dapat kita cermati atau bahkan kita waspadai pergerakanyya. Hal tersebut adalah masuknya gugatan aktivis RMS ke pengadilan GAM di Belanda yang akhirnya menyebabkan PAK BEYE tidak jadi berkunjung ke Belanda.

Dalam kaitan ini, manuver yang dilakukan oleh para aktivis RMS telah “selangkah lebih maju” untuk setidaknya memberikan efek kejut bagi pemerintah Indonesia atau bahkan masyarakat Indonesia. Manuver yang dilakukan oleh RMS telah menunjukkan bahwa sel-sel gerakan separatis di Indoensia tidak pernah mati dan berusaha selalu mencari simpati public, baik public nasional maupun internasional.

Gerakan separatis di Indonesia juga bukanlah hal yang “asing” bagi pemerintah Indonesia, setidaknya selama perjalanan kemerdekaan Indonesia beberapa gerakan separatis terus bermunculan, baik gerakan separatis yang berbasis wilayah, seperti : Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Organisasi Papua Merdeka (OPM), Fretilin di Timor-Timor (sekarang Timor Leste); maupun gerakan separatis yang berbasis kepada agama, seperti DI/TII.

Kelahiran gerakan separatis tersebut muncul dari beberapa factor, yang umumnya disebabkan oleh ketidakadilan pemerintah pusat terhadap daerah dan adanya penerapan hukun yang tidak sesuai dengan keinginan gerakan separatis tersebut. Perjuangan yang dilakukan oleh para aktivis gerakan separatis tersebut pun hampir selalu mengundang konflik terbuka dengan pemerintahan resmi Indonesia.

Seperti sadar akan zaman, gerakan-gerakan separatis tersebut selain menggunakan instrument kekerasan dalam perjuangannya ternyata juga memanfaatkan kemampuan berdiplomasi yang dilakukan di dalam negeri maupun di luar negeri. Kemampuan berdiplomasi gerakan separatis tersebut digunakan untuk mendapat simpati masyarakat dalam negeri maupun luar negeri terhadap perjuangan mereka. Tak jarang kemampuan berdiplomasi tersebut juga dilakukan dalam rangka meraih dukungan pemerintahan Negara lain untuk mendukung gerakan mereka dan dapat memberikan perlindungan bagi para aktivis yang berhasil keluar dari Indonesia untuk menghindari penangkapan oleh pemerintah Indonesia.

Yang akan menjadi masalah bagi Indonesia adalah apabila isu gerakan separatis telah menjadi isu internasional, bukan lagi isu nasional. Sekali saja isu separatis menjadi isu internasional, dalam artian menjadi salah satu bahan pembahasan media maupun organisasi internasional, maka gerak-gerik pemerintah Indonesia dalam menyikapi isu separatis tersebut juga akan menjadi sorotan public internasional, ditambah manuver aktif para aktivis dalam membentuk opini public akan menjadi suatu hal yang dapat memojokkan pemerintah Indonesia, contoh terbaru gugatan aktivis RMS terhadap pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh Indonesia di pengadilan HAM telah menunjukkan efektifitas internasionalisasi isu dan diplomasi public gerakan separatis.

Indonesia punya pengalaman pahit ketika Timor-Timur (baca : Timor Leste) lepas dari NKRI. Lepasnya Timor-Timur merupakan “kemenangan” gerakan separatis dalam mendapatkan dukungan internasional dari pemerintah Negara lain dan juga organisasi internasional yang akhirnya mendorong Indonesia menggelar referendum terbatas bagi rakyat Timor-Timur untuk menentukan tetap bergabung dengan NKRI atau menjadi Negara merdeka. Selain itu berlakunya UU Pemerintahan Aceh (UU PA) pasca kesepakatan damai RI-GAM di Helsinki, Finlandia pada 2005 juga menunjukkan “kemenangan” diplomasi GAM, yang buntutnya lahirnya UU khusus bagi provinsi Aceh yang mengakomodasi terbentuknya partai local dan penerapan hukun syariah di Aceh.

Untuk itu dalam mengantisipasi terjadinya “internasionalisasi” isu separatis, pemerintah Indonesia dituntut untuk juga dapat menerapkan diplomasi public yang efektif dalam mendorong simpati masyarakat baik nasional maupun internasional kepada pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan isu separatis ini. Indonesia juga harus aktif melakukan lobi intensif terhadap pemerintahan Negara lain yang menjadi basis “eksternal” gerakan separatis bahwa isu separatis tersebut merupakan isu dalam negeri Indonesia dan meyakinkan bahwa tahap-tahap penyelesaian sedang dilakukan.

Selain melakukan hal tersebut, pemerintah harus juga melakukan hal-hal fundamental yang menjadi dasar lahirnya gerakan separatis tersebut, seperti keadilan, kesejahteraan, dan lain sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar