Seandainya Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta berperilaku politik seperti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) seperti sekarang ini, barangkali Republik Indonesia (RI) sudah lenyap terpecah belah. Tapi syukurlah, Bung Karno dan Bung Hatta bukan SBY dan JK. Ketika Dwitunggal Soekarno-Hatta pecah menjadi "Dwitanggal" saat Bung Hatta mundur dari jabatan wakil presiden November 1956, keduanya berperilaku sangat elegan penuh sopan santun, walaupun aliran politik sudah sangat berbeda. Paling mengharukan dan membanggakan bangsa Indonesia, keduanya tetap bersahabat kental seperti saudara kandung sampai akhir hayat mereka. Keluarga mereka tetap akrab sampai saat ini.
Bayangkan saja kalau Bung Hatta mundur memberikan "free chance" kepada Bung Karno kemudian keduanya saling kritik, saling sindir dan bahkan saling ejek di depan rakyatnya saat itu, seperti dilakukan SBY dan JK saat ini, bisa dipastikan negara kesatuan RI akan berantakan. "Kalau saja Bung Hatta menyeberangi Selat Sunda, Indonesia akan pecah," kenang mantan Rektor Universitas Indonesia Prof Dr Bahder Johan, sahabat dari kecil Bung Hatta dalam buku Kenangan 70 Tahun Bung Hatta.
Kalau saja misalnya, kedua proklamator itu berbalas-balasan kata menyatakan perbedaan mereka dan menyebut kembali jasa-jasa mereka kepada negara, barangkali saat itu negara ini bersimbah darah. Misalnya Soekarno yang karismatik dan charming menyatakan, "saya yang mempersatukan rakyat Indonesia," atau " saya yang menciptakan Pancasila," atau "saya yang mengucapkan proklamasi kemerdekaan." Lalu misalnya dibalas dengan tenang oleh Bung Hatta yang cool tersebut, "saya yang pertama kali meproklamirkan nama Indonesia untuk melawan penjajahan Belanda," atau "saya yang menata negara ini," atau "saya yang membangun pemerintahan," atau "saya yang capek berdiplomasi ke dunia internasional untuk mendukung kemerdekaan Indonesia."
Saat dwitunggal itu bercerai, kondisi Indonesia sangat rawan dengan perpecahan. Daerah-daerah bergolak mengritik pemerintah pusat Jakarta yang saat itu penuh korupsi, jual beli lisensi bisnis yang dilakukan parpol-parpol yang memenangkan Pemilu 1955. Daerah menjadi kurang diperhatikan sehingga militer di daerah membiayai pasukannya sendiri. Militer terpaksa mencari dana dengan menyelundup dan bisnis di daerah, seperti Pangdam Bukit Barisan Kolonel M Simbolon menyelundup di Teluk Nibung, Asahan. Sementara Pangdam Sulawesi Kolonel Warrou juga berbisnis di Sulawesi dan Pangdam Diponegoro, Jawa Tengah Kolonel Soeharto juga berbisnis. Semuanya untuk kepentingan pasukan masing-masing. Akhirnya di Sulawesi melahirkan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta).
Dalam kondisi ini, tokoh Soekarno dan Hatta masing-masing mempunyai dukungan besar dari rakyatnya masing-masing. Soekarno lebih banyak didukung oleh rakyat dari Jawa sementara Hatta didukung rakyat dari luar Jawa. Untuk mencegah ini, militer dan politisi mempelopori Pertemuan Nasional untuk menyatukan kembali Dwitunggal. Tapi gagal. Akhirnya pecah pemberontakan PRRI/Permesta di Sumatera dan Sulawesi .
Menghadapi keadaan sulit ini, Bung Karno dan Bung Hatta tenang. Bung Hatta yang sudah berada di luar pemerintahan, menolak ajakan untuk berpihak. Bahkan ketika PRRI/Permesta merencanakan kalau menang dalam pemberontakan tersebut akan mengangkat Hatta menjadi presiden dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX menjadi wakil presiden, Bung Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX diam saja, tak berkomentar. Bung Karno dan Bung Hatta sadar, kalau mereka terjebak dalam tarik menarik konflik ini, RI akan hancur berantakan dan lenyap dari muka bumi.
Ketika pemberontakan berhasil diredam dengan memberikan amnesti, Soekarno berkuasa sendirian. Tapi bukan berarti Bung Hatta diam saja tapi tetap memberikan kritik dari luar. Tapi kritik tersebut tidak disebarluaskan atau dipertontonkan ke depan rakyatnya. Bung Hatta secara rutin memberikan kritikan dan masukan kepada Bung Karno melalui surat-suratnya secara diam-diam. Bung Hatta tak mau menonjolkan diri, bahkan wartawan Mochtar Lubis yang membujuknya untuk menerbitkan surat-surat tersebut, ditolaknya. Baru beberapa saat menjelang wafatnya, bujukan Mochtar Lubis itu diterimanya untuk membukukan kritikannya kepada sahabatnya Bung Karno.
Sampai akhir hayat mereka, saat Bung Karno menjelang ajal di RSPAD Gatot Subroto, awal Juni 1970, Bung Hatta datang menjenguk Bung Karno di pembaringan. Mereka sempat bercanda dan tertawa serta menangis. Ketika sejarawan Noegroho Notosusanto pada 1978 menyatakan penggali Pancasila adalah Mr Mohamad Yamin, sehingga memunculkan polemik panjang, Bung Hatta secara resmi mengeluarkan testimoni kepada Guntur Soekarnoputra anak Bung Karno bahwa penggali Pancasila adalah Bung Karno. Noegroho Notosusanto kontan terdiam.
Bersyukurlah kita bangsa Indonesia memiliki negarawan seperti Bung Karno dan Bung Hatta. Sikap kenegarawanan tersebut mengundang rasa hormat dan sayang seluruh bangsa Indonesia, termasuk orang-orang yang pernah menjadi musuh politik mereka. Seperti Kolonel Zulkifli Lubis, panglima PRRI/Permesta dan Anak Agung Gde Agung yang sempat dipenjarakan Soekarno, ketika penulis tanyakan sikap mereka terhadap Soekarno, kedua dengan tegas menyatakan tetap menghormati Bung Karno. "Saya tetap kagum dan hormat kepada Bung Karno walaupun saya dipenjarakan di bawah tanah selama tiga setengah tahun. Itu adalah risiko politik yang harus saya tanggung. Bung Karno dan Bung Hatta yang memerdekakan bangsa Indonesia ," kata Zilkifli Lubis tegas.
Tapi Bung Karno dan Bung Hatta memang hidup dalam zaman yang berbeda dengan SBY dan JK. Kalau kedua proklamator itu tidak bisa lagi sebagai dwitunggal dalam kenegaraan, tapi mereka tetap dwitunggal dalam sanubari persaudaraan dengan menjaga perasaan dan hati masing-masing. Semua demi menjaga keutuhan bangsa Indonesia yang sedang menghadapi berbagai cobaan dan menenangkan hati rakyatnya yang sedang susah. Sedangkan SBY dan JK kini sedang sibuk membangun citranya masing-masing demi memenangkan kursi kepresidenan, tak memedulikan sopan santun politik di depan rakyatnya dengan mengungkit jasa masing-masing dan membuka kelemahan masing-masing. Sangat menyedihkan.
Begitu sibuknya SBY dan JK dengan perlombaan mendapatkan kursi presiden tersebut, sehingga rakyat pantas bertanya: mereka itu sedang menjadi presiden dan wakil presiden atau keduanya sedang menjadi calon presiden? Kampanye SBY dan JK kini sangat gencar sehingga meredupkan fungsi yang sedang mereka emban sebagai presiden dan wakil presiden hingga Oktober 2009 mendatang. Begitu lupanya mereka berdua sehingga pemerintahan RI sempat kosong ketika Presiden SBY pergi menghadiri sidang Negara G-20, sementara Wakil Presiden JK cuti kampanye untuk parpolnya.
Padahal, satu jam saja kursi kepresidenan tak boleh kosong. Contohnya ketika Presiden AS John F Kennedy ditembak mati di Dallas, Texas tahun 1963, Wakil Presiden Lyndon B Johnson langsung disumpah menjadi presiden di pesawat terbang Air Force One di sebelah jenazah Kennedy menuju Washington. Jadi ketika mendarat di Gedung Putih, Amerika Serikat tetap mempunyai presiden.
Dari sini sangat jelas terbukti, pemimpin Indonesia masih dalam klasifikasi politikus, bukan tokoh negarawan. Sebab, sehebat apapun konsep pembangunan atau sehebat apapun kepintaran dalam memimpin negara yang disodorkan kepada rakyat dalam kampanye pemilihan presiden mendatang, akan sulit berhasil bila tidak mempunyai sikap mental dan etika kenegarawanan. Di atas semua itu adalah rakyat. Dan rakyat hanya bisa diikat dengan sikap kebangsaan yang utuh dengan contoh keteladanan seorang negarawan. Kenegarawanan dan keteladanan Soekarno dan Hatta dalam bernegara dapat menjadi renungan bagi calon presiden mendatang.
Bayangkan saja kalau Bung Hatta mundur memberikan "free chance" kepada Bung Karno kemudian keduanya saling kritik, saling sindir dan bahkan saling ejek di depan rakyatnya saat itu, seperti dilakukan SBY dan JK saat ini, bisa dipastikan negara kesatuan RI akan berantakan. "Kalau saja Bung Hatta menyeberangi Selat Sunda, Indonesia akan pecah," kenang mantan Rektor Universitas Indonesia Prof Dr Bahder Johan, sahabat dari kecil Bung Hatta dalam buku Kenangan 70 Tahun Bung Hatta.
Kalau saja misalnya, kedua proklamator itu berbalas-balasan kata menyatakan perbedaan mereka dan menyebut kembali jasa-jasa mereka kepada negara, barangkali saat itu negara ini bersimbah darah. Misalnya Soekarno yang karismatik dan charming menyatakan, "saya yang mempersatukan rakyat Indonesia," atau " saya yang menciptakan Pancasila," atau "saya yang mengucapkan proklamasi kemerdekaan." Lalu misalnya dibalas dengan tenang oleh Bung Hatta yang cool tersebut, "saya yang pertama kali meproklamirkan nama Indonesia untuk melawan penjajahan Belanda," atau "saya yang menata negara ini," atau "saya yang membangun pemerintahan," atau "saya yang capek berdiplomasi ke dunia internasional untuk mendukung kemerdekaan Indonesia."
Saat dwitunggal itu bercerai, kondisi Indonesia sangat rawan dengan perpecahan. Daerah-daerah bergolak mengritik pemerintah pusat Jakarta yang saat itu penuh korupsi, jual beli lisensi bisnis yang dilakukan parpol-parpol yang memenangkan Pemilu 1955. Daerah menjadi kurang diperhatikan sehingga militer di daerah membiayai pasukannya sendiri. Militer terpaksa mencari dana dengan menyelundup dan bisnis di daerah, seperti Pangdam Bukit Barisan Kolonel M Simbolon menyelundup di Teluk Nibung, Asahan. Sementara Pangdam Sulawesi Kolonel Warrou juga berbisnis di Sulawesi dan Pangdam Diponegoro, Jawa Tengah Kolonel Soeharto juga berbisnis. Semuanya untuk kepentingan pasukan masing-masing. Akhirnya di Sulawesi melahirkan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta).
Dalam kondisi ini, tokoh Soekarno dan Hatta masing-masing mempunyai dukungan besar dari rakyatnya masing-masing. Soekarno lebih banyak didukung oleh rakyat dari Jawa sementara Hatta didukung rakyat dari luar Jawa. Untuk mencegah ini, militer dan politisi mempelopori Pertemuan Nasional untuk menyatukan kembali Dwitunggal. Tapi gagal. Akhirnya pecah pemberontakan PRRI/Permesta di Sumatera dan Sulawesi .
Menghadapi keadaan sulit ini, Bung Karno dan Bung Hatta tenang. Bung Hatta yang sudah berada di luar pemerintahan, menolak ajakan untuk berpihak. Bahkan ketika PRRI/Permesta merencanakan kalau menang dalam pemberontakan tersebut akan mengangkat Hatta menjadi presiden dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX menjadi wakil presiden, Bung Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX diam saja, tak berkomentar. Bung Karno dan Bung Hatta sadar, kalau mereka terjebak dalam tarik menarik konflik ini, RI akan hancur berantakan dan lenyap dari muka bumi.
Ketika pemberontakan berhasil diredam dengan memberikan amnesti, Soekarno berkuasa sendirian. Tapi bukan berarti Bung Hatta diam saja tapi tetap memberikan kritik dari luar. Tapi kritik tersebut tidak disebarluaskan atau dipertontonkan ke depan rakyatnya. Bung Hatta secara rutin memberikan kritikan dan masukan kepada Bung Karno melalui surat-suratnya secara diam-diam. Bung Hatta tak mau menonjolkan diri, bahkan wartawan Mochtar Lubis yang membujuknya untuk menerbitkan surat-surat tersebut, ditolaknya. Baru beberapa saat menjelang wafatnya, bujukan Mochtar Lubis itu diterimanya untuk membukukan kritikannya kepada sahabatnya Bung Karno.
Sampai akhir hayat mereka, saat Bung Karno menjelang ajal di RSPAD Gatot Subroto, awal Juni 1970, Bung Hatta datang menjenguk Bung Karno di pembaringan. Mereka sempat bercanda dan tertawa serta menangis. Ketika sejarawan Noegroho Notosusanto pada 1978 menyatakan penggali Pancasila adalah Mr Mohamad Yamin, sehingga memunculkan polemik panjang, Bung Hatta secara resmi mengeluarkan testimoni kepada Guntur Soekarnoputra anak Bung Karno bahwa penggali Pancasila adalah Bung Karno. Noegroho Notosusanto kontan terdiam.
Bersyukurlah kita bangsa Indonesia memiliki negarawan seperti Bung Karno dan Bung Hatta. Sikap kenegarawanan tersebut mengundang rasa hormat dan sayang seluruh bangsa Indonesia, termasuk orang-orang yang pernah menjadi musuh politik mereka. Seperti Kolonel Zulkifli Lubis, panglima PRRI/Permesta dan Anak Agung Gde Agung yang sempat dipenjarakan Soekarno, ketika penulis tanyakan sikap mereka terhadap Soekarno, kedua dengan tegas menyatakan tetap menghormati Bung Karno. "Saya tetap kagum dan hormat kepada Bung Karno walaupun saya dipenjarakan di bawah tanah selama tiga setengah tahun. Itu adalah risiko politik yang harus saya tanggung. Bung Karno dan Bung Hatta yang memerdekakan bangsa Indonesia ," kata Zilkifli Lubis tegas.
Tapi Bung Karno dan Bung Hatta memang hidup dalam zaman yang berbeda dengan SBY dan JK. Kalau kedua proklamator itu tidak bisa lagi sebagai dwitunggal dalam kenegaraan, tapi mereka tetap dwitunggal dalam sanubari persaudaraan dengan menjaga perasaan dan hati masing-masing. Semua demi menjaga keutuhan bangsa Indonesia yang sedang menghadapi berbagai cobaan dan menenangkan hati rakyatnya yang sedang susah. Sedangkan SBY dan JK kini sedang sibuk membangun citranya masing-masing demi memenangkan kursi kepresidenan, tak memedulikan sopan santun politik di depan rakyatnya dengan mengungkit jasa masing-masing dan membuka kelemahan masing-masing. Sangat menyedihkan.
Begitu sibuknya SBY dan JK dengan perlombaan mendapatkan kursi presiden tersebut, sehingga rakyat pantas bertanya: mereka itu sedang menjadi presiden dan wakil presiden atau keduanya sedang menjadi calon presiden? Kampanye SBY dan JK kini sangat gencar sehingga meredupkan fungsi yang sedang mereka emban sebagai presiden dan wakil presiden hingga Oktober 2009 mendatang. Begitu lupanya mereka berdua sehingga pemerintahan RI sempat kosong ketika Presiden SBY pergi menghadiri sidang Negara G-20, sementara Wakil Presiden JK cuti kampanye untuk parpolnya.
Padahal, satu jam saja kursi kepresidenan tak boleh kosong. Contohnya ketika Presiden AS John F Kennedy ditembak mati di Dallas, Texas tahun 1963, Wakil Presiden Lyndon B Johnson langsung disumpah menjadi presiden di pesawat terbang Air Force One di sebelah jenazah Kennedy menuju Washington. Jadi ketika mendarat di Gedung Putih, Amerika Serikat tetap mempunyai presiden.
Dari sini sangat jelas terbukti, pemimpin Indonesia masih dalam klasifikasi politikus, bukan tokoh negarawan. Sebab, sehebat apapun konsep pembangunan atau sehebat apapun kepintaran dalam memimpin negara yang disodorkan kepada rakyat dalam kampanye pemilihan presiden mendatang, akan sulit berhasil bila tidak mempunyai sikap mental dan etika kenegarawanan. Di atas semua itu adalah rakyat. Dan rakyat hanya bisa diikat dengan sikap kebangsaan yang utuh dengan contoh keteladanan seorang negarawan. Kenegarawanan dan keteladanan Soekarno dan Hatta dalam bernegara dapat menjadi renungan bagi calon presiden mendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar