Sabtu, 07 Mei 2011

Korupsi dan e-Government


Beberapa hari yang lalu, Transparency International (http://www.transparency.org) yang bermarkas di Berlin, kembali meliris peringkat teranyar tingkat korupsi negara-negara di dunia. Dan, pemenang tahun 2010, sebagai negara paling korup adalah … Somalia. Somalia menduduki peringkat paling bontot, 178, dengan Corruption Perceptions Index (CPI) sebesar 1,1 (dari nilai tertinggi 10). Somalia telah menduduki posisi ini dalam empat tahun terakhir. Denmark, bersama-sama dengan Selandia Baru, dan Singapura mengukuhkan dirinya sebagai negara paling bersih sejagat dengan CPI sebesar 9,3. Ketiga negara ini juga menduduki posisi terhormat, tiga terbersih, pada peringkat tahun sebelumnya.

Bagaimana posisi Indonesia? Nilai CPI sebesar 2,8 menempatkan Indonesia pada urutan ke-110, bersama-sama dengan Benin, Bolovia, Gabon, Kosovo, dan Kepulauan Solomon. Pada tahun 2009, Indonesia menduduki posisi ke-111 dengan CPI yang sama. Jika CPI dijadikan acuan, maka tidak ada perbaikan di Indonesia dalam satu tahun terakhir. Jika dibandingkan kondisi pada 2008 (peringkat ke-126 dan CPI sebesar 2,6), ada sedikit perbaikan.

Wacana korupsi bukan hal baru di Indonesia, dan bahkan sudah pada tahap yang sangat njelehi untuk didiskusikan. Kerusakan sistemik ditengarai banyak pihak menjadi penyebabnya. Dari kacamata kebudayanan Koentjaraningrat, korupsi adalah akibat dari mentalitas menerabas alias mental potong kompas yang masih tumbuh subur di masyarakat.

e-Government sebagai strategi anti-korupsi
Pertanyaannya kemudian adalah apa yang bisa dilakukan? Banyak. Tetapi apapun itu, tidak akan merupakan obat mujarab untuk menghilangkan korupsi secara seketika dari bumi Indonesia. Salah satu hal penting dalam mengurangi korupsi adalah peningkatan transparansi. Untuk itu, penerapan sistem/teknologi informasi untuk mendukung “proses bisnis” di lembaga pemerintah dengan dukungan pemimpin bervisi jelas dalam bentuk insitiatif e-government, memberikan harapan baru sebagai salah satu strategi anti-korupsi.

e-Government bukan sekedar menginstal sistem informasi dan menjalankannya. e-Government bukan masalah teknologi informasi semata. Perubahan pola pikir pemangku amanat di pemerintahan harus dikedepankan. Selama masih ada yang berpikir “kalau bisa dipersulit mengapa harus dibuat mudah”, sampai kiamat pun inisiatif e-government tidak akan berdampak banyak.

Dampak e-government sangat beragam, mulai dari peningkatan kualitas layanan publik, perbaikan partisipasi masyarakat dalam pengambilam kebijakan, sampai dengan peningkatan transparansi. Yang terakhir ini nampaknya masih merupakan barang mewah di Indonesia. Tahun 2008, Kota Yogyakarta, menjadi kota “terbersih dari korupsi” versi Transparency International Indonesia berdasar survei di 50 kota di Indonesia. Peringkat serupa untuk tahun setelahnya nampaknya belum dirilis.

Meskipun terdapat peningkatan inistiatif e-government yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir, namun Indonesia, masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain. Peringkat terakhir tahun 2010 yang dirilis oleh UNPAN, salah satu lembaga di bawah PBB, menempatkan Indonesia pada posisi 109 dari 192 negara yang disurvei.

Analisis  yang dilakukan penulis terhadap data CPI dan peringkat e-government mulai tahun 2007 menunjukkan pengaruh tingkat adopsi e-government terhadap penuruan korupsi dan sebaliknya. Pertama, adopsi e-government terbukti mempunyai dampak pada penurunan tingkat korupsi. Kedua, penurunan tingkat korupsi juga akan meningkatkan tingkap adopsi e-government. Tentu saja perlu dicatat dengan tebal di sini, bahwa akan sangat naif dan menyederhanakan masalah jika e-government dianggap sebagai satu-satunya solusi potensial.

Mengapa adopsi e-government dapat menurunkan tingkat korupsi? Kata kuncinya ada penyederhaan “proses bisnis” di pemerintahan dan peningkatan transparansi. Proses bisnis yang lebih ramping dan tertata dengan baik akan menjadikan peluang untuk korupsi berkurang. Bayangkan jika semua dana yan ditarik dari masyarakat oleh pemerintah terlaporkan dengan jelas dengan bantuan sistem informasi yang terencana baik. Potensi mendapatkan pungutan liar, yang mungkin masih dibayangkan oleh beberapa pengemban amanah di pemerintahan, tentu akan terbatasi.

Penulis termasuk yang mengharapkan, suatu saat, laporan realisasi, bukan hanya rencana, anggaran pemerintah dapat diakses melalui Internet. Harapan sepele ini sebetulnya adalah salah satu akar dari rendahnya keinginan untuk lebih transparan. Jika transparansi dapat ditingkatkan, tentu pemegang amanah di pemerintah akan berpikir, minimal dua kali, untuk terlibat dalam perkara korupsi.
Sebaliknya, penurunan tingkat korupsi juga akan meningkatkan adopsi e-government. Penurunan tingkat korupsi tidak akan terjadi tanpa perubahan pola pikir dan prilaku. Pola pikir yang merelakan sebagian kekuasaannya dialihkan dan pensiun dari mentalitas penjaga gerbang (gate keeper) yang rawan terhadap praktik korupsi akan mendorong inisiatif lanjutan e-government. Jika mentalitas penjaga gerbang kekuasaan yang menjadikan banyak orang tergantung kepadanya tidak berkurang, akan sangat sulit bagi seorang pemimpin, yang akan mendorong inisiatif e-government. Ini bukan perkara mudah di Indonesia, dengan dimensi budaya jarak kekuasaan (power distance) yang tinggi. Menurut Geert Hofstede yang telah melakukan studi budaya terhadap pegawai IBM di 72 negara, masyarakat dengan budaya jarak kekuasaan yang tinggi akan menolerir jika sekelompok anggota masyarakat (dalam konteks ini pemegang amanah di pemerintahan) mendominasi dan mempunyai kekuasaan yang luar biasa atas kelompok yang lain. Inisiatif e-government pada tataran tertentu akan mengurangi kekuasaan pemimpin dan mendelegasikannya kepada sistem atau orang yang lebih rendah dalam hirarki kekuasaan.

Mana yang harus lebih dulu dilakukan, pengurangan korupsi atau peningkatan adopsi e-government? Ini pertanyaan telur dan ayam. Nampaknya untuk saat ini, opor ayam dapat dicampuri telur dalam satu panci yang sama, dan karenanya, bagaimana kalau dilakukan bersama-sama, diikuti dengan inisiatif yang lain, seperti edukasi dan penegakan hukum yang lebih adil.

*Pernah dimuat di Kolom Analisis SKH Kedaulatan Rakyat, 4 November 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar