Dari sejarah perjalanan bangsa Indonesia, kita semua tahu, bahwa kaum muda memiliki peran besar dalam menentukan sejarah bangsa ini dalam setiap periode zamannya. Kita mencoba mengingat peristiwa 83 tahun lalu, di mana para pemuda bangsa ini berkumpul bersama mengikrarkan persatuan. Berbagai perkumpulan pemuda dari daerah-daerah maupun kelompok-kelompok lain berhasil melahirkan Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Sebuah manifesto kebangsaan yang menjadi cikal bakal proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Para pemuda dikumpulkan dan dipersatukan oleh nasib dan perjuangan menghadapi musuh bersama, yaitu penjajah yang memecah belah persatuan bangsa Indonesia.
Kita maju agak jauh ke peristiwa 45 tahun yang lalu. Di tahun 1966, setelah peristiwa revolusi berdarah tahun 1965, para pemuda menggalang kekuatan untuk melemparkan isu nasional dalam Tritura: Bubarkan PKI, Rombak Kabinet, dan Turunkan Harga. Dengan aksi bersama itu, para pemuda berhasil menggulingkan rezim Orde Lama.
Di tahun 1974, para pemuda pun bersama-sama bersatu mempertanyakan modal asing. Aksi itu kemudian berkembang melahirkan Tritura baru: Bubarkan Asisten Pribadi Presiden, Turunkan Harga, dan Berantas Korupsi.
Sejak tahun delapan puluhan, terjadi pergeseran isu dari gerakan pemuda. Isu-isu yang diangkat aksi pemuda bergeser dari isu nasional ke isu lokal. Pada periode ini, kita menyaksikan peranan kaum mudadalam menyuarakan hati nurani rakyat. Mereka membela kepentingan kaum kecil, misalnya dalam kasus nelayan di Lampung, penambak di Tangerang, penambang pasir di Kali Brantas, dan tanah di Kedung Ombo. Meski membawa isu yang berbeda, aksi kaum muda itu tetap merupakan sebuah gerakan yang memiliki kekuatannya sendiri.
Melompat ke tahun 1997, kita tentu ingat peristiwa tumbangnya Orde Baru yang ditandai dengan turunnya Suharto dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Lagi-lagi peristiwa yang menjadi sejarah itu tak lepas dari gerakan bersama kaum muda bangsa ini.
Dari beberapa peristiwa sejarah tersebut, kita dapat melihat, bahwa kaum muda mampu berjalan bersama, bertekad satu, ketika mereka memiliki satu keprihatinan bersama, atau dalam hal ini, penulis menyebutnya sebagai musuh bersama. Ketika para pemuda memperjuangkan kepentingan yang sama, mereka tidak lagi melihat latar belakang agama, daerah, golongan, ataupun kelompok. Kemajemukan tidak menjadi hambatan untuk bersatu.
Sekarang mari kita mencoba melihat gerakan pemuda belakangan ini. Baiklah kali ini kita mengambil contoh dari kalangan mahasiswa. Tak dapat dipungkiri, bahwa mahasiswalah yang paling banyak berperan dalam gerakan pemuda sejak Sumpah Pemuda hingga saat ini.
Setelah aksi besar-besaran tahun 1997, kita tidak pernah lagi melihat aksi mahasiswa yang cukup besar atau berskala nasional. Bahkan, kita harus mengakui, sekarang tidak ada lagi organisasi massa mahasiswa yang mempunyai pengaruh cukup kuat. Organisasi massa tidak lagi populer di kalangan kaum muda.
Kenyataan ini sungguh berbeda bila dibandingkan dengan situasi tahun enam puluhan atau tujuh puluhan. Pada tahun enam puluhan, ormas-ormas seperti HMI, PMKRI, GMKI, GMNI, memiliki pengaruh yang sangat besar. Bila para pimpinan ormas tersebut telah sepakat, maka dengan mudah massa mahasiswa disatukan dalam jalan yang sama. Di tahun tujuh puluhan, Dewan Mahasiswa (DM) di setiap perguruan tinggi juga memiliki pengaruh kuat. Ketika beberapa pimpinan DM bersepakat, suara massa mahasiswa pun dapat disatukan.
Kini, ormas besar seperti HMI, PMKRI, GMKI, dan GMNI, tak lagi berpengaruh meski masih tetap hidup. Organisasi intern kampus, seperti Senat Mahasiswa atau Badan Eksekutif Mahasiswa, boleh dikatakan hanya menjadi perpanjangan tangan birokrasi kampus. Organisasi-organisasi kemahasiswaan yang aktif saat ini lebih pada organisasi kecil yang merupakan unit-unit aktivitas yang berlatar belakang minat (pers, seni, olahraga, profesi, dll) atau agama.Kelompok-kelompok kecil yang masing-masing beranggotakan sedikit orang saja itu tentu menyulitkan mereka untuk menjaring massa.
Dalam kondisi tersebut, yang dapat dilakukan untuk menyatukan mahasiswa adalah membangun koalisi. Namun, persoalan lain yang membuat sulitnya menyatukan gerakan mahasiswa adalah sering terjadinya konflik di antara para aktivis antar kelompok mahasiswa. Mahasiswa tidak lagi mempersoalkan isu-isu politik dan sosial yang menjadi keprihatinan bersama, tetapi malah mempersoalkan sikap politik atau pandangan kelompok lain, bahkan sampai mempersoalkan masalah pribadi sesama aktivis.
Dari kenyataan di atas, penulis berpendapat, agar kaum muda dapat bersatu menjadi sebuah kekuatan, harus ada faktor dari luar yang menjadi musuh bersama. Faktor luar tersebut dapat bermacam-macam bentuknya. Misalnya, adanya momen politik nasional yang menjadi picu (seperti tahun 1997).
Sebenarnya, jika kaum muda mau dan mampu membuka mata, musuh bersama itu telah hadir di tengah-tengah mereka. Masalah korupsi para elit bangsa ini, atau isu yang hangat akhir-akhir ini, yaitu krisis lingkungan hidup akibat pemanasan global, kiranya dapat menjadi keprihatinan bersama yang melahirkan suatu gerakan bersama secara massal.
Persoalannya, apakah kaum muda mampu melihat itu sebagai musuh bersama, ataukah mereka melihat masalah-masalah itu hanya sebagai sesuatu yang biasa, yang bukan urusan mereka?
Sejak tahun delapan puluhan, terjadi pergeseran isu dari gerakan pemuda. Isu-isu yang diangkat aksi pemuda bergeser dari isu nasional ke isu lokal. Pada periode ini, kita menyaksikan peranan kaum mudadalam menyuarakan hati nurani rakyat. Mereka membela kepentingan kaum kecil, misalnya dalam kasus nelayan di Lampung, penambak di Tangerang, penambang pasir di Kali Brantas, dan tanah di Kedung Ombo. Meski membawa isu yang berbeda, aksi kaum muda itu tetap merupakan sebuah gerakan yang memiliki kekuatannya sendiri.
Melompat ke tahun 1997, kita tentu ingat peristiwa tumbangnya Orde Baru yang ditandai dengan turunnya Suharto dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Lagi-lagi peristiwa yang menjadi sejarah itu tak lepas dari gerakan bersama kaum muda bangsa ini.
Dari beberapa peristiwa sejarah tersebut, kita dapat melihat, bahwa kaum muda mampu berjalan bersama, bertekad satu, ketika mereka memiliki satu keprihatinan bersama, atau dalam hal ini, penulis menyebutnya sebagai musuh bersama. Ketika para pemuda memperjuangkan kepentingan yang sama, mereka tidak lagi melihat latar belakang agama, daerah, golongan, ataupun kelompok. Kemajemukan tidak menjadi hambatan untuk bersatu.
Sekarang mari kita mencoba melihat gerakan pemuda belakangan ini. Baiklah kali ini kita mengambil contoh dari kalangan mahasiswa. Tak dapat dipungkiri, bahwa mahasiswalah yang paling banyak berperan dalam gerakan pemuda sejak Sumpah Pemuda hingga saat ini.
Setelah aksi besar-besaran tahun 1997, kita tidak pernah lagi melihat aksi mahasiswa yang cukup besar atau berskala nasional. Bahkan, kita harus mengakui, sekarang tidak ada lagi organisasi massa mahasiswa yang mempunyai pengaruh cukup kuat. Organisasi massa tidak lagi populer di kalangan kaum muda.
Kenyataan ini sungguh berbeda bila dibandingkan dengan situasi tahun enam puluhan atau tujuh puluhan. Pada tahun enam puluhan, ormas-ormas seperti HMI, PMKRI, GMKI, GMNI, memiliki pengaruh yang sangat besar. Bila para pimpinan ormas tersebut telah sepakat, maka dengan mudah massa mahasiswa disatukan dalam jalan yang sama. Di tahun tujuh puluhan, Dewan Mahasiswa (DM) di setiap perguruan tinggi juga memiliki pengaruh kuat. Ketika beberapa pimpinan DM bersepakat, suara massa mahasiswa pun dapat disatukan.
Kini, ormas besar seperti HMI, PMKRI, GMKI, dan GMNI, tak lagi berpengaruh meski masih tetap hidup. Organisasi intern kampus, seperti Senat Mahasiswa atau Badan Eksekutif Mahasiswa, boleh dikatakan hanya menjadi perpanjangan tangan birokrasi kampus. Organisasi-organisasi kemahasiswaan yang aktif saat ini lebih pada organisasi kecil yang merupakan unit-unit aktivitas yang berlatar belakang minat (pers, seni, olahraga, profesi, dll) atau agama.Kelompok-kelompok kecil yang masing-masing beranggotakan sedikit orang saja itu tentu menyulitkan mereka untuk menjaring massa.
Dalam kondisi tersebut, yang dapat dilakukan untuk menyatukan mahasiswa adalah membangun koalisi. Namun, persoalan lain yang membuat sulitnya menyatukan gerakan mahasiswa adalah sering terjadinya konflik di antara para aktivis antar kelompok mahasiswa. Mahasiswa tidak lagi mempersoalkan isu-isu politik dan sosial yang menjadi keprihatinan bersama, tetapi malah mempersoalkan sikap politik atau pandangan kelompok lain, bahkan sampai mempersoalkan masalah pribadi sesama aktivis.
Dari kenyataan di atas, penulis berpendapat, agar kaum muda dapat bersatu menjadi sebuah kekuatan, harus ada faktor dari luar yang menjadi musuh bersama. Faktor luar tersebut dapat bermacam-macam bentuknya. Misalnya, adanya momen politik nasional yang menjadi picu (seperti tahun 1997).
Sebenarnya, jika kaum muda mau dan mampu membuka mata, musuh bersama itu telah hadir di tengah-tengah mereka. Masalah korupsi para elit bangsa ini, atau isu yang hangat akhir-akhir ini, yaitu krisis lingkungan hidup akibat pemanasan global, kiranya dapat menjadi keprihatinan bersama yang melahirkan suatu gerakan bersama secara massal.
Persoalannya, apakah kaum muda mampu melihat itu sebagai musuh bersama, ataukah mereka melihat masalah-masalah itu hanya sebagai sesuatu yang biasa, yang bukan urusan mereka?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar