Kamis, 05 Mei 2011

URGENSI PEMERINTAHAN DALAM ISLAM




Tujuan Islam terpenting adalah mewujudkan keadilan sosial yang terformulasi  dengan tindakan “menyeru kepada kebaikan dan mencegah kejahatan”  (al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar).  Namun, siapa saja yang menghendaki suatu tujuan, konsekwensinya harus mau melaksanakan cara-cara  untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam hal ini Ibn Taimiyah (661 H/1263 M – 728 H/1328 M) menegaskan, ”Allah mewajibkan manusia untuk melakukan perintah berlaku ma’ruf dan nahi munkar, keadilan, melaksanakan haji, melaksanakan shalat-shalat jemaah, dan memerangi orang-orang yang zalim. Semuanya itu tidak akan terlaksana kecuali dengan kekuatan (kekuasaan) dan imarah (kepemimpinan)”. (Al-Siyasah al-Syar’iyah, 1991:149).
Oleh karena itu, keberadaan negara dan pemerintahan amat penting dalam rangka mengurus dan mengayomi masyarakat. Memang, secara global di dunia Islam dewasa ini, ada tiga aliran yang berkembang  mengenai hubungan antara Islam dan negara. Pertama, aliran yang berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata agama, dalam pengertian hanya menyangkut hubungan dengan Tuhan belaka. Islam adalah satu agama yang sempurna dan lengkap, mencakup pengaturan bagi semua aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan bernegara. Tegasnya, sistem kenegaraan harus sepenuhnya mengacu pada Islam. Tokoh-tokoh utama aliran ini, antara lain, Hasan al-Banna, Sayyid Qutb, Muhammad Rasyid Ridha, dan Abul A’la al-Maududi. Kedua, aliran yang berpendapat bahwa Islam adalah agama semata-mata, yang tidak ada hubungannya dengan kenegaraan. Nabi hanya seorang Rasul semata, bukan sebagai kepala negara. Tokoh aliran ini yang terkemuka di antaranya Ali Abd Al-Raziq dan Thaha Husein. Ketiga, aliran yang berpendirian bahwa  dalam Islam tidak terdapat sistem  kenegaraan, tetapi terdapat seperangkat  tata nilai  etika dan prinsip-prinsip bagi kehidupan bernegara. Di antara para tokoh aliran ini  ialah Muhammad Husein Haikal.
Negara dan pemerintahan sangat urgen dalam me-manage dan mengayomi masyarakat. Tanpa negara dan pemerintahan yang konstitusional masyarakat tidak akan mungkin mewujudkan cita-cita sosial-politik dan keadilan sosial, melaksanakan hukum dan menegakan keadilan, menciptakan sistem pendidikan dan mempertahankan kebudayaan Islam dari penyelewengan-penyelewengan, baik dari dalam maupun  serangan–serangan dari luar. Negara dan pemerintahan yang tidak konstitusional dapat menyebabkan masyarakat tidak berdaya menghadapi penguasa yang korup dan tiranik. Akhirnya Islam dianggap hanya ibadah (ritual) belaka dan ilusi semata. Selain itu, janji Islam sebagai petunjuk bagi kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat belum dapat dibuktikan secara optimal.
Menurut para politikus Muslim, dalam negara dan kekuasaan seyogianya prinsip-prinsip dasar syari’ah diimplementasikan. Nilai-nilai syari’at Islam direalisir dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara harmonis dalam konteks pluralisme sosial. Karena secara politis, syari’ah adalah sumber nilai yang memberi corak dari dinamika perkembangan politik dan negara yang ideal yang dicita-citakan. Ini berarti membumikan syari’ah Islam menghendaki betapa urgennya  pemerintahan dalam Islam, yang ditegakkan dengan prinsip-prinsip syari’ah, yang mencakup nilai-nilai keadilan, kebenaran, kejujuran, dan kesejahteraan masyarakat, baik pada tingkat nasional, regional, maupun daerah.
Pemerintahan yang konstitusional dalam pandangan Islam merupakan otoritas syari’ah terhadap seluruh manusia, baik terhadap kalangan penguasa maupun terhadap massa rakyat, yang prinsip-prinsipnya dirumuskan oleh Allah yang disampaikan oleh Nabi kepada manusia yang termaktub dalam al-Qur’an dan Sunnah serta dijabarkan dalam penafsiran-penafsiran ulama, ilmuwan dan cendikiawan, yang secara sosiologis ditegakkan oleh kekuatan-kekuatan yang dipercayai. Lebih khas, bagi setiap Muslim, negara itu adalah alat (agency) untuk merealisasikan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi, untuk mencapai keridhaan Allah kesejahteraan duniawi dan ukhrawi, serta menjadi rahmat bagi sesama manusia dan alam lingkungannya (Abd al-Qadir Audah, 1990: 119-135).
Tujuan negara itu adalah mewujudkan kesejahteraan, akan lebih tepat dikatakan, kesejahteraan masyarakat universal di dunia dan akhirat (Fazlur Rahman, “Implementation of the Islamic Concept of State in the Pakistani Milleu, dalam Islamic Studies, 1967: 206). Dalam perspektif al-fiqh al siasy, tujuan etis yang menjadikan dasar pendirian sebuah negara adalah penerapan syari’at Islam secara proporsional. Ini berarti bahwa kekuasaan pemerintah Islam diharapkan  mampu meliputi seluruh cara dan segi kehidupan, baik masyarakat maupun perseorangan, dengan aturan yang memenuhi tujuan etika keagamaan masyarakat Islam.  Dengan demikian, jika nilai-nilai syari’ah sudah dilaksanakan, maka kesejahteraan universal duniawi dan ukhrawi akan dapat diraih. (Abd al-Qadir Audah, 1990: 263-7).
Ikatan antara penguasa dan rakyat adalah berdasarkan atas dorongan batin, yakni keyakinan kepada Allah dan kehidupan akhirat nanti. Dengan demikian, dengan landasan akan keyakinan kepada Allah SWT, pemerintahan yang dijalankan dapat terhindar dari berbagai praktek manipulasi, korupsi, dan kolusi, karena selalu berada dalam pengawasan Tuhan Penguasa jagad raya ini.
Tugas-tugas suatu negara dan pemerintahan dalam konsepsi Islam ada dua macam: pertama, berupa tugas-tugas yang hanya dimiliki secara khas oleh negara yang konstitusinya memuat acuan syari’ah. Tugas ini dirancang agar syari’ah terpelihara dan tujuan-tujuannya terlaksana apabila peraturan-peraturannya ditaati. Misalnya, mengurus pelaksanaan salat jemaah, pendistribusian zakat, melaksanakan hudud, menegakkan keadilan (al-qadha’), mengawasi pasar (hisbah), menangani penyelewengan-penyelewengan di dalam timbangan, ukuran; kesusilaan dan kesopanan masyarakat, serta melaksanakan jihad untuk memberantas kemunkaran dan kezaliman yang meresahkan masyarakat.
Kedua, tugas-tugas yang juga dimiliki pula oleh negara dan pemerintahan pada umumnya. Secara historis, ke dalam tugas-tugas ini tercakup tugas-tugas mengangkat kepala negara, presiden, menteri, panglima, hakim, dan lain sebagainya; tugas mengawasi dan mengatur lembaga-lembaga hukum; menyelenggarakan pendidikan dan administrasi pemerintahan; tugas di bidang perpajakan dan keuangan; dan tugas-tugas serta fungsi-fungsi lain yang dianggap perlu demi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat (Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, 1967: 448-65).
Pimpinan pemerintahan, dalam konsepsi Islam, dipilih berdasarkan kualifikasi dan spesifikasi tertentu. Syarat-syarat dan kualifikasi pokok bagi suatu jabatan publik  tersebut, selain memiliki syarat moral dan intelektual, adalah kejujuran (amanah); kecakapan atau mempunyai otorisasi dalam mengelola pemerintahan dengan pengawasan-pengawasan dari kelompok pemerintahannya (quwwah); dan keadilan (‘adalah)—sebagai manifestasi kesalehan.
Oleh karena itu, format suatu pemerintahan yang mengimplementasikan nilai-nilai intrinsik ajaran Islam dalam kehidupan sosial-politik merupakan suatu bentuk tata politik dan kultural dengan prinsip-prinsip yang permanen dan sistem yang dinamis. Masyarakat dapat terhindar dari fluktuasi yang tak berkesudahan: dewasa, layu, hancur, dan lahir kembali. Masyarakat dapat menghindari perubahan-perubahan sejarah ini dengan menggunakan dan mentaati sistem sosio-kultural Islam, termasuk subsistem politisnya.
Imam Al-Ghazali, seorang tokoh hukum  dan spiritualis Islam, misalnya dalam teorisasi kenegaraan mengutamakan perpaduan moral (agama) dengan kekuasaan. Negara dan pemerintahan itu, dipimpin oleh manusia biasa, tetapi harus mempunyai moral yang baik. Unsur agama mesti diperoleh dan dipertahankan dalam pemerintahan, demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara universal, kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Eksistensi agama dalam negara dan pemerintahan dan kaitannya dengan otoritas kepala negara  diibaratkan al-Ghazali sebagai anak kembar. Agama adalah suatu fondasi, sedangkan pemerinatahan adalah penjaganya. Sesuatu yang tanpa fondasi akan mudah runtuh  dan suatu fondasi tanpa penjaga akan hilang. Atas dasar itu, menurut al-Ghazali, asal-usul dan keberadaan negara dan pemerintahan merupakan suatu keharusan bagi ketertiban dunia. Ketertiban dunia merupakan keharusan bagi ketertiban agama, sedangkan ketertiban agama amat penting untuk mencapai kesejahteraan akhirat kelak. Secara syar’i,  pengangkatan pimpinan yang mampu mengelola pemerintahan secara efektif merupakan suatu keharusan yang tak bisa diabaikan.
Dengan demikian, negara dan pemerintahan sangat signifikan dalam mewujudkan ketertiban masyarakat dan perdamaian dunia. Keberadaan negara dan pemerintahan yang konstitusional sangat urgen dalam menata kehidupan berbangsa  dan bernegara secara efektif dan merupakan  suatu perangkat untuk mensosialisasikan  syari’at Islam
Sember :
Oleh: DR. Efrinaldi, M.Ag.
(Dosen Fakultas Syari’ah IAIN dan DLB pada Jurusan Ilmu Politik, FISIP Unand Padang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar